Welcome to Alislamarrahman

Ahlu Sunnah Wal Jamaah

Tauhid Uluhiyyah

Bismillahirrahmaannirrahiim

Sebelum kita membahas lebih jauh tentang Tauhid Uluhiyyah, perlu kiranya kita memahami secara singkat tentang apa itu makna dari istilah tauhid. Secara umum, makna tauhid adalah mengesakan Allah, atau dengan kata lain suatu pernyataan bahwa kita meyakini hanya ada satu Tuhan saja dan tiada Tuhan dan sesembahan-sesembahan lain selain Dia. Tuhan yang satu itulah Allah SWT.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (semoga Allah merahmati beliau) memberi definisi tentang tauhid: “Adapun tauhid yang karenanya para utusan Allah di utus dan kitab-kitab Allah diturunkan adalah perintah Allah kepada para hamba agar beribadah hanya kepada-Nya semata dan tidak menyekutukan sesuatupun dengan-Nya (Majmu Fatawa, 4/150). Meskipun Ibnu Taimiyah menyebut kata tauhid secara umum, namun yang beliau jelaskan tersebut adalah lebih mengacu kepada makna Tauhid Uluhiyyah karena beliau menyebutkan tentang peribadahan hanya kepada Allah SWT, dan ini sudah masuk kepada konteks dari definisi Tauhid Uluhiyyah. Namun demikian, beliaupun Insya Allah sudah benar dalam menjelaskannya karena mengarah kepada pengesaan Allah.

Imam Al Qadhi Iyadh (semoga Allah merahmati beliau) menuturkan: “Tauhid adalah menetapkan suatu zat yang tidak sama dengan zat-zat yang lain dan tidak bisa lepas dari sifat-sifat(Asy Syifa, 1/388). Beliau memberi pengertian istilah tauhid secara umum akan tetapi lebih mengarah kepada Tauhid Asma Wa Shifat. Hal ini dikarenakan beliau lebih menekankan kepada suatu pemahaman dimana tiada zat yang menyamai allah dari segi sifat dan keutamaan. Sama halnya dengan Ibnu Taimiyah, definisi yang diberikan oleh Al Qadhi Iyadh pun tidak salah, karena sudah tersirat kepada pengesaan Allah juga.

Tauhid adalah hal yang sangat urgent bagi kehidupan beragama di kalangan kaum muslimin. Tauhid adalah hal pertama yang diperintahkan kepada umat ini. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas: “Rasulullah bersabda kepada Mu’adz bin Jabal letika mengutusnya ke Yaman: Engkau akan datang kepada suatu kaum yang mana mereka adalah ahli kitab. Jika engkau dating kepada mereka, serulah mereka agar bersaksi bahwa tiada Tuhan yang patut diibadahi kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah(HR. Bukhari, no. 1458, shahih). Hadist tersebut menjelaskan kepada kita semua bahwa umat manusia diseru untuk mentauhidkan Allah dan mengakui Muhammad sebagai nabi mereka sebelum mereka mengerjakan ibadah-ibadah yang lain.

Mengingat betapa pentingnya tauhid, Ibnu Qayyim (semoga Allah merahmati beliau) berkata: “Tauhid adalah kunci/pembuka dakwah dan seruan para nabi” (Madarijus Salikin, 3/443). Kemudian Ibnu Hajar (semoga Allah merahmati beliau) berkata: “Bahwa sisi tauhid adalah sesuatu yang paling besar dan amat penting untuk dido’akan dan ditolong, oleh sebab itu pahamilah masalah ini” (Fathul Bari, 8/74). Kedua ulama tersebut telah menegaskan betapa signifikannya peran tauhid dalam agama.

Sekarang marilah kita mulai memasuki koridor Tauhid Uluhiyyah dan apa saja yang berhubungan dengannya. Telah kita pahami bersama bahwa Tauhid Uluhiyyah adalah mengesakan Allah dalam segi peribadahan. Sebagai umat muslim, kita tidak beribadah, berdo’a, dan bersujud kepada selain-Nya. Sheikh Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani (semoga Allah merahmati beliau) berkata tentang tauhid ini: “Maknanya yaitu mengesakan Allah SWT dalam beribadah, karena sesungguhnya tidak ada satupun yang boleh disembah kecuali Dzat yang mampu melaksanakan apa-apa yang telah disebutkan dalam Tauhid Rububiyyah. Maka tidak diperkenankan melakukan shalat, berdo’a dan menyembelih kurban kecuali hanya diperuntukkan kepada-Nya” (6 Pilar Utama Dakwah Salafiyyah, hal. 57).

Selaras dengan perkataan beliau, Dr. Shalih Al Fauzan (semoga Allah merahmati beliau) berkomentar: Tauhid Uluhiyyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan para hamba berdasarkan niat taqarrub yang disyari’atkan seperti do’a, nadzar, kurban, raja’, takut, tawakal, raghbah, rahbah, dan inabah. Dan jenis tauhid ini adalah inti dakwah para rasul” (dinukil dari syabaabussunnah.wordpress.com).

Manakala ibadah kita dipalingkan kepada selain Allah, maka terdapat ancaman keras bahwa itu adalah perbuatan kemusyrikan. Adapun ulama yang berkata demikian adalah Sheikh Muhammad bin Abdul Wahhab (semoga Allah merahmati beliau) : Bila amalan kamu seluruhnya bagi Allah, maka kamu adalah orang yang bertauhid; dan bila ada sebagian (amal) yang dipalingkan kepada makhluk, maka kamu adalah musyrik” (Ad Durarus Saniyyah, 1/113). Sheikh Abdullathif bin Abdurrahman bin Hassan (semoga Allah merahmati beliau) berkata: Siapa saja yang beribadah kepada selain Allah dan menjadikan tandingan bagi Tuhannya, serta menyamakan Dia dengan yang lain, maka dia itu adalah musyrik yang sesat bukan muslim meskipun dia memakmurkan lembaga-lenbaga pendidikan, mengangkat para qadhi, membangun masjid, menyuarakan adzan, karena dia tak berkomitmen dengan tauhidnya” (Mishbahuzh zhalam, hal. 37).

1. Dalil-dalil Al Qur’an Tentang Tauhid Uluhiyyah

Allah SWT berfirman:

“Katakanlah: Dialah Allah Yang Maha Esa” (Al Ikhlas: 1)

Ibnu Katsir (semoga Allah merahmati beliau) mengkomentari ayat di atas: “Yakni Dialah Yang Maha Esa, tidak ada yang menyamai-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada yang serupa dengan-Nya, tidak ada yang setara dengan-Nya, dan tidak ada yang sebanding dengan-Nya” (Tafsir Ibnu Katsir, 9/759).

Mengenai dalil yang lebih mengkhususkan kepada mengesakan ibadah kepada Allah semata adalah firman Allah berikut:

“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah” (Al An’am: 162).

Ada hadist yang matannya senada dengan ayat tersebut. Jabir bin Abdullah berkata: “Rasulullah berkurban pada hari raya Idul Adha dengan dua ekor domba, ketika menyembelih keduanya, beliau bersabda: Ya Allah, kuhadapkan wajahku kepada Rabb yang telah menciptakan langit dan bumi dengan lurus, dan aku bukanlah termasuk orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku hanyalah untuk Rabb semesta alam yang tidak ada sekutu bagi-Nya” (HR. Hakim, 2/467, sanad hadist ini dha’if).

Allah juga berfirman dalam ayat yang lain:

“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah” (Al Kautsar: 2).

Ibnu Katsir berkata: “Maka murnikanlah shalatmu baik yang wajib maupun yang sunnah, dan laksanakanlah kurban karena Rabbmu” (Tafsir Ibnu Katsir, 9/733).

Dari ayat tersebut bisa kita pahami bahwa jika kita mendirikan shalat atau berkurban atau melakukan amal yang lain, maka niat ibadah kita ditujukan karena hendak mengibadahi Allah dan bukan kepada tujuan yang lain. Sheikh Shalih Al Utsaimin (semoga Allah merahmati beliau) ketika menafsiri ayat ini berkata: “Oleh karenanya kita wajib untuk mengikhlaskan shalat untuk Allah dan mengikhlaskan penyembelihan untuk Allah” (Tafsir Juz Amma, hal. 427).

Terdapat banyak ayat dari Kitabullah tentang Tauhid Uluhiyyah atau memurnikan penyembahan semata-mata hanya karena Dia, beberapa di antaranya yaitu:

“Bahwasanya tiada Tuhan selain Aku, maka ibadahilah olehmu semua akan Aku (Al Anbiya: 25).

Beribadahlah kepada Allah saja dan jauhilah thaghut” (An Nahl: 36).

“Radahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dan memurnikan ketaatan kepada-Nya (Al Bayyinah: 5).

“Katakanlah: Hanya Allah saja yang aku ibadahi dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam agamaku” (Az Zumar: 14).

2. Dalil-dalil Hadist Tentang Tauhid Uluhiyyah

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas:

“Rasulullah bersabda kepada Mu’adz bin Jabal letika mengutusnya ke Yaman: Engkau akan datang kepada suatu kaum yang mana mereka adalah ahli kitab. Jika engkau dating kepada mereka, serulah mereka agar bersaksi bahwa tiada Tuhan yang patut diibadahi kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah(HR. Bukhari, no. 1458, shahih).

Abu Hurairah berkata:

“Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW dalam suatu peperangan, lantas dia bertanya: ‘Ya Rasulullah, saya berperang (jihad) dulu atau masuk Islam dulu?’ Beliau menjawab: ‘Masuk Islamlah dulu, kemudian berperang’ (HR. Bukhari, sanadnya shahih).

Ibnu Taimiyah berkata ketika mengkomentari hadist nomor dua di atas: “Apabila seseorang beriman kepada Rasul dengan keimanan yang pasti, dan dia mati sebelum masuk waktu shalat atasu sebelum wajibnya suatau amal apapun, maka dia mati dengan sempurna iman yang wajib atasnya” (Majmu Fatawa, 11/519). Artinya jika ada seseorang yang pada mulanya kafir lalu ia mentauhidkan Allah dengan meyakini sebenar-benarnya lalu ia mati sebelum datang waktu shalat yang fardhu, orang itu dihukumi sebagai muslim dan mati dalam keadaan Islam. Inilah nilai penting Tauhid Uluhiyyah.

3. Perkataan Ulama Tentang Urgensi Tauhid Uluhiyyah

Ibnu Qayyim berkata:

Jika engkau menyebut kepadanya (orang munafik) tentang Allah saja dan memurnikan tauhidmu kepada-Nya, dia (orang munafik) dirundung perasaan tidak tenang, kesempatan dan tekanan, lalu menuduhmu sebagai orang yang kurang memahami tentang ketuhanan dan bahkan akan memusuhimu” (Madarijus Salikin, 1/341-342).

Nampaknya ulama besar sekaliber beliau mengatakan yang demikian itu dilatarbelakangi oleh firman Allah berikut ini:

“Dan apabila hanya nama Allah saja yang disebut, kesallah hati orang-orang yang beriman” (Az Zumar: 45).

Sheikh Muhammad Khalil Harras (semoga Allah merahmati beliau) berkata:

“Suatu hal yang sangat mengherankan bahwa kelompok Asy’ariyyah berpendapat bahwa inti yang paling utama dalam Tauhid Uluhiyyah adalah mengesakan Allah dalam penciptaan dan pengadaan makhluk, padahal telah dimaklumi bahwasanya pengesaan Allah dalam Tauhid Rububiyyah adalah penciptaan yang mana telah diakui oleh orang musyrik (Da’watut Tauhid, hal. 231).

Maksud dari perkataan sheikh di atas adalah menegaskan bahwa Tauhid Uluhiyyah adalah tauhid dari segi peribadahan, sedangkan Tauhid Rububiyyah adalah tauhid dari segi penciptaan. Beliaupun menjelaskan bahwa sesungguhnya orang-orang musyrik mengakui bahwa yang menciptakan langit dan bumi adalah Allah. Hal ini dikarenakan Allah berfirman: “Dan jika kamu bertanya kepada mereka (orang musyrik): ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’ Niscaya mereka menjawab: ‘Allah’” (Az Zumar: 38). Ibnu Katsir menambahkan: Orang-orang musyrik mengakui bahwa Allah-lah yang menciptakan segala sesuatu, meski demikian mereka tetap menyembah Tuhan lain bersamaan dengan Allah” (Tafsir Ibnu Katsir, 7/746).

Memang benarlah apa yang dikatakan Ibnu Katsir, yang demikian itu karena sesungguhnya Kitab Injil perjanjian lama pun telah menyatakan bahwa Allah-lah pencipta langit dan bumi: “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kitab Kejadian pasal 1 ayat 1).

Sheikh Mubarak Al Mili (semoga Allah merahmati beliau) berkata:

“Tidak cukup dalam dua kalimat syahadat dengan tauhid yang murni saja, hingga orang yang mengucapkannya mengingkari adanya sesembahan yang lain (Risalatusy Syirk wa Mazhahiruhu, hal. 20).

Sama halnya dengan beliau, Imam Asy Syaukani (semoga Allah merahmati beliau, 172-250H) juga berkata:

Sekedar mengucapkan Laa ilaaha illallah tanpa mengamalkan maknanya tidaklah menetapkan keislamannya, karena seandainya kalimat ini diucapkan oleh seorang dari ahlul jahil (orang awam) sedangkan ia masih beribadah kepada berhalanya, tentu itu bukan merupakan bentuk keislamannya” (Ad Durar An Nadhid, hal. 77).

Perkataan beliau selaras dengan ayat:

“Katakanlah: Marilah kubacakan apa yang diharamkan atasmu oleh Tuhanmu, yaitu janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan-Nya” (Al An’am: 151).

Sheikh Abdurrahman bin Hassan (semoga Allah merahmati beliau) berkata: “Sesungguhnya orang yang melakukan syirik berarti telah meninggalkan tauhid, karena keduanya adalah dua hal yang kontradiksi yang tak bisa bersatu. Dikala syirik ada, maka tauhid menghilang” (Syarah Ashlu Dienul Islam, Majmu’atut Tawhid, hal. 28).

Wallahu’alam bish showab….

Tinggalkan komentar

Laman

Arsip